Sabtu, 10 Desember 2011

Hermeneutika Leonel Betti


MEMBACA KARYA SASTRA {Elaborasi Hermeneutika Emilio Betti}
As’ad Alf

Dalam pemikiran hermeneutik Wilhem Dilthey terdapat dua prinsip, yang sekaligus menjadi keyword bagi pandangan-pandangannya, yaitu emphaty dan reliving. Disposisi yang kemudian menjadi metode berpikir ala “romantisisme” ini, bagi Emilio Betti, tidak cukuk memuaskan, bahkan dianggap tidak cukup mampu secara tegas “membedah” objek (teks). Untuk itu, ia berupaya merumuskan pemikirannya dari hal-hal yang belum disentuh oleh Dilthey. Ia menjadikan dirinya sebagai residu Dilthey.
Bagi Betti, untuk bisa sampai pada “mengerti” seseorang harus terlebih dahulu mampu menjernihkan persoalan. Setiap detail proses interpretasi mesti diteliti, termasuk metodologi yang dirumuskan untuk menentukan seberapa jauh kemungkinan pengaruh eksternal (subjek) terhadap objek interpretasi. Sebab satu-satunya medium bagi upaya untuk “mengerti” adalah interpretasi. Makna tidak didapatkan dari penyimpulan atas interpretasi, melainkan diderivasi melalui mata-rantai yang menghubungkan peristiwa sejarah.
Dengan demikian, seorang penafsir (intepretor) harus sanggup secara aktif merekonstruksi makna yang didapat dari kronik intelektualitasnya, pengalaman masa lalu, dan latarbelakang kebudayaan dan sejarah yang dimiliki. Proses interpretasi berarti lebih sebagai upaya “menemukan” (to discover), bukan “menciptakan” (to invent), sebagaimana kecenderungan dekonstruski. Peran penafsir tidak lebih dari memaknai ulang sebuah “peristiwa bahasa” dari temuan-temuan yang dihasilkan lewat sebuah proses penelusuran. Sebab tidak ada arbitrary acts yang dipaksakan untuk memaknai sebuah peristiwa tertentu (termasuk teks), karena memang makna hanya bisa diderivasi.
Betti menghendaki –seperti yang dirumuskan dalam keempat kanonnya— dalam “mengolah” teks mesti digunakan sebuah metode tertentu. Untuk itu, ia memformulasikan konsep verstehen, yang menurut Bleicher, didasarkan pada asumsi: bagaimana proses interpretasi diskemakan untuk menghadapi problema memahami. Interpretor, pada dasarnya, telah memiliki konsep untuk menilai dan memaknai gagasan yang akan ditransmisikan pada publik. Ketika ia berhadapan dengan teks, ia telah memiliki struktur pemahaman (pre-understanding) dalam benaknya mengenai objek tersebut. Oleh karenya, konsep verstehen ini dapat dioperasikan dalam menginternalisasi stimulus dan respons, dan mengaplikasikan apa yang disebut sebagai behavior maxims. Metode ini kerap kali digunakan dalam menganalisis ilmu-ilmu sosial, tetapi menurut Betti, realitas sosial juga bisa dipahami sebagai “teks” yang mesti diuraikan intensi yang ada di balik realitas tersebut.
Tugas penafsir sebenarnya adalah menemukan intensi makna di balik manifestasi pemikiran pengarang serta gaya pemikiran yang khas yang tersembunyi di balik teks. Di samping bahwa setiap orang memang memiliki “cara baca” tertentu dalam memahami teks, yang melatari proses berikutnya. Karena penafsir tidak bisa secara pasif menerima makna yang telah ada sebelumnya, tetapi harus melakukan eksplorasi sampai mendapatkan intensi makna yang dikehendakinya. Ia juga yang harus menemukan kebutuhan prosedur-prosedurnya.
Penafsir juga harus memahami dan merekonstruksi makna dalam teks dengan bantuan intuisi dan kekuatan refleksi. Karena dalam melakukan tafsir, seseorang telah dikuasai oleh beragam postulasi yang disebuat Vorverständnis (pre-understanding) sebagai bagian tak terpisahkan dari pemikiran seseorang, yang bisa digunakan sebagai pijakan awal dalam memahami. Vorverständnis ini sangat penting untuk menghindarkan diri dari kesalahpahaman yang seringkali disebabkan tidak adanya asumsi awal mengenai fokus pemikiran tertentu. Tetapi, asumsi awal juga tidak menjamin pengetahuan subjek dan objek secara distinktif, karena ia –termasuk faktor kesejarahan– terkadang hanya berupa sebuah ilusi yang dilegitimasi.
Konkritnya, Betti menyebutkan alur penafsiran sebagai upaya menafsirkan dasar-dasar yang mengandung materi-pokok (gagasan) baik yang secara langsung diekspresikan atau tidak. Gagasan itu sangat mungkin bersamaan waktunya dengan intensi teks, atau ia lahir secara bersamaan dengan munculnya teks. Dengan demikian dapat dihindarkan kesalahpahaman dalam membidik substansi persoalan hermeneutika, yaitu pada wilayah-wilayah yang sebenarnya berada di luar konteks penafsiran. Seringkali, terdapat ambigu pada persoalan ini, yaitu pada ketidaktepatan menentukan di mana mainstream gagasan utama dan mana gagasan sekunder. Hal ini juga berimplikasi pada ketidaktepatan metodologis yang dipergunakan untuk “mengolah” teks tersebut.
Betti membagi proses interpretasi ke dalam empat tahapan di mana masing-masing tahapan merepresentasikan bentuk pendekatan intelektual yang berbeda-beda: (1) filologi, yang berguna dalam memahami simbol-simbol yang memiliki makna permanen, (2) kritik, untuk menguji apakah teks memenuhi prinsip logika; pendekatan ini setidaknya akan membuktikan orisinalitas dan autentisitas beragam elemen teks, (3) psikologi, menjadi penting dalam memahami posisi pengarang supaya proses penghadiran kembali teks lebih faktual dan kontekstual, (4) teknik-morfologi, yang mengantarkan pada pemahaman komprehensif tentang makna objek dalam kaitannya dengan logika pengalaman manusia.
Tulisan ini akan mencoba menuangkan beberapa hal yang menjadi keyword bagi eksplanasi pemikiran Betti, yaitu (1) otonomi objek; (2) totalitas dan koherensi makna (totality and coherence of the meaning), yang membidik interkoneksi the parts within the whole; (3) actuality of understanding, sebuah konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis of thought; dan (4) korespondensi makna (kecukupan-makna dalam memahami).
Pertama, otonomi objek (teks). Sejak awal suatu teks sudah merupakan suatu konsep yang bermakna (meaning-full forms), mengingat ia telah diobjektifikasi dan dimanifestasi oleh beragam pengarang (author), sehingga ia memiliki personality, karena sejak semula ia telah mengandung beragam manifestasi pemikiran. Untuk itu, bagi kritikus (interpretor), dalam memahami teks tersebut harus mereferensi pada pluralitas konsep yang telah berada di dalam struktur pikiran.
Kritikus harus menggunakan referensi manifestasi-manfestasi pemikiran tersebut  dalam memaknai teks, sebelum kemudian diaplikasikan dalam konteks kesejarahan yang sama sekali baru, terlepas bahwa ada “subjek” yang terlebih dulu membuat “pemaknaan” lewat sebuah proses kreatifnya sendiri. Jadi upaya interpretasi yang dilakukan hanya berupa penghadiran kembali meaning-full objek yang telah terdistorsi, kemudian direkonstruksi menjadi makna yang tetap faktual sesuai dengan perkembangan sejarah kemanusiaan.
Oleh karena itu, para hermeneut melukiskan kanon ini sebagai sensus non est inferendus sed efferendus; makna harus dideterminasi di dalam meaning-full dengan cara menderivasinya, tidak sebagai sebuah kesimpulan yang didapatkan melalui penalaran yang serampangan dan di “bawah tangan”.
Otonomi teks sastra. Jika objek mesti otonom, maka teks sastra pun bisa otonom, terutama dari kecenderungan pemasungan makna tertentu. The author yang konon harus diselami sisi kehidupan dan dirasakan keinginan-keinginannya (sebagaimana dalam perspektif Dilthey) sebenarnya telah melemparkan teks dalam wacana publik. Karena teks tersebut, by nature, telah melengkapi dirinya dengan konsep-konsep yang bermakna yang mesti ditemukan oleh penafsir. Toshihiku Izutsu pernah mengemukakan betapa otonomi teks (entah dia berangkat dari kanon ini atau tidak) melahirkan dinamika organik, dari sekedar makna sederhana, basic meaning, berakselerasi membentuk makna-makna yang lain dengan berelasi dengan teks lain.
Kedua, totalitas dan koherensi makna (totality and coherence of the meaning), yang membidik interkoneksi the parts within the whole. Kanon ini meneguhkan adanya inter-relasi dan koherensi di antara elemen-elemen individual objek tertentu, tentu dengan melibatkan serangkaian manifestasi pemikiran, serta hubungan timbal-balik the whole dan its parts. Jelasnya, ini adalah hubungan elemen-elemen antara teks itu sendiri dengan common whole-nya yang kelak melahirkan reciprocal illmunation (iluminasi timbal balik) dan uraian tentang konsep-konsep meaning-full dalam keterkaitan antara the whole dan its parts.
Dari sini, setiap aksi dari kehidupan the author, bisa dipahami melalui konteks makna yang telah diturunkannya dan bagaimana makna tersebut melakukan interkoneksi dengan faktor-faktor eksternal. Oleh karena itu, memahami teks haruslah melibatkan koherensi di mana konteks makna berhasil ditemukan lewat persentuhan sinergis elemen-elemen teks. Dan penafsir, dalam perspektif ini, harus menemukan relasi organik tersebut sebagai konsideran bagi kesimpulannya dalam memahami teks.
Korelasi Teks sastra. Teks sastra tidak bisa dipahami secara sepenggal. Teks itu memiliki konteks yang memberikan gambaran bagaimana harusnya teks dipahami. Dalam tradisi kritik sastra, terdapat kajian tentang korelasi teks yang mengetengahkan bagaimana antara satu teks dengan yang lain saling berhubungan sehingga membentuk world-view yang ingin diaktualisasikan oleh pengarang. Dalam tataran ini seorang kritikus harus bisa membedah satu teks yang ada pada tempat dan konteks yang berlainan. Kata “revolusi” misalnya, seringkali digunakan oleh Pramudya Ananta Toer dalam novelnya, tentu saja dalam konteks yang berlainan. Tetapi ketika diungkap, dapat ditemukan sebuah koherensi makna yang menjadi world-view -nya. Artinya, dalam kondisi apapun Pram menghendaki ditegakkannya “revolusi” di negeri ini.
Ketiga, actuality of understanding, sebuah konsep yang lebih memberikan intensi pada genesis of thought. Betti menggambarkannya sebagai situasi kemasakinian. Tugas penafsir yang terpenting adalah menyelidiki proses kreatif ketika teks ditulis (atau diucapkan), merekonstruksi dan menerjemahkannya kembali tanpa mengesankan bahwa teks tesebut merupakan bagian dari masa lalu. Dalam hal ini diperlukan sebuah adaptasi yang kira-kira bisa mengintegrasikan penafsiran ke dalam horizon intelektual masa kini.
Dengan demikian, dapat dilihat bahwa sebenarnya subjek telah mengantisipasi perkembangan makna objek, sehingga ia tidak melampaui batas yang dikehendaki subjek. Sebab hal ini dapat membedakan secara tegas proyeksi makna yang dikehendaki oleh subjek, dan kemampuan untuk mengembangkan makna yang secara otonom dimiliki oleh objek. Dari hubungan inter-koneksi ini lahir sintesis pemikiran yang melahirkan makna baru.
Aktualitas Teks. Dalam tradisi kritik sastra sering ditemukan ungkapan “bacalah teks sastra seakan-akan ia ditulis untukmu”. Yang dimaksud adalah, kritikus dituntut untuk memberikan makna yang kontekstual terhadap karya yang dibedahnya. Misalnya, tentang “kawin paksa” dalam novelnya Marah Rusli, Sutan Noer Iskandar, atau Sutan Taksir Ali Syahbana, menjadi tidak aktual jika ditafsirkan sesuai dengan kontek budaya Sumatera Barat pada saat itu, sehingga makna itu dapat diaktualisasikan dalam bentuk “kawin paksa” yang terjadi pada era kontemporer.
Keempat, korespondensi makna (kecukupan makna dalam memahami). Pemahaman saja, tidak cukup mampu untuk membangun komunikasi. Justru diperlukan intellectual open-mindedness yang menjadikan seorang penafsir mampu menempati posisi penting dalam proses “memahami”. Jadi penafsir lebih menitikberatkan pada subjek, dibanding objek. Dengan demikian, seorang penafsir harus berusaha membawa lively actuality-nya ke dalam sebuah “harmoni tertutup” dengan rangsangan yang diterimanya dari objek yang meneguhkan bahwa the one dan the other terpaku pada sebuah harmoni. Ini bisa jadi merupakan refleksi pribadi, yang biasa didapati dalam penafsiran sejarah.
Psikologi pengarang. Mungkin istilah ini kurang tepat, karena sebenarnya ia merupakan bagian dari tradisi kritik seni yang menitikberatkan pada pengarang (subjek), yang kemudian dikembangkan dalam tradisi kritik sastra, khususnya psikologi sastra. Menafsirkan teks berdasar pada psikologi pengarang ini dapat diawali melalui “memahami” proses penulisan karya, karena setiap pengarang selalu melibatkan emosinya (kegelisahan, penderitaan, kegembiraan, dll.) baik sebagai tema karya maupun sebagai motivasi. Tommy F. Awuy menegaskan bahwa puisi (sastra) mengandung makna pribadional, karena setiap penyair memiliki pikiran dan ungkapan tentang realitas. Hal ini senada dengan Roekhan yang menegaskan bahwa sastra itu merupakan hasil kreatifitas pengarang yang menggunakan media bahasa, yang dilahirkan dari pengekspresian endapan pengalaman yang telah lama ada dalam jiwanya dan telah mengalami proses pengolahan jiwa secara mendalam melalui proses berimajinasi. Puisi “mabuk anggur” misalnya, dapat dianalisis kekuatan maknanya melalui biografi pengarangnya, Abu Nuwas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar